Ajaran Tasawuf Karim Jamak
dalam Membentuk Karakter Jam’iyatul Islamiyah Kerinci
The Sufism of Karim Jamak in Jam’iyatul Islamiyah Kerinci’s Character Building
Oleh :
Dosen Jurusan Akidah dan Pemikiran Islam Universiti Malaya,
Jalan University, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia
Abstrak: Abdul Karim Jamak telah berupaya mendalami dan mengamalkan ajaran Islam dalam historiografi keagamaan di Kerinci. Sebagai guru agama, dia memiliki harapan dan cita-cita
mengembangkan dakwah Islam. Cita-cita dan harapan itu juga dimanifestasikan dengan mendorong perubahan masyarakat Kerinci, dari “kuno”, “statis” dan “berlatar belakang rendah” ke arah “modern”, yaitu masyarakat yang mengamalkan Islam secara kaffah.
Abdul Karim Jamak juga bersikap hati-hati dalam menyampaikan materi dakwah. Upaya Karim Jamak menyampaikan ilmu agama kepada jamaahnya telah mengupayakan memenuhi standard yang benar seperti slogan: yang dituntut Islam, jauh dari kesalahan, bersih dalam syariah, benar dalam akidah, asli dari kitab Allah (Alquran)dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini hendak mengurai lebih mendalam ajaran tasauf dari Abdul Karim Jamak, yang walaupun dianggap kontroversi oleh sebagian orang, tetapi di sisi lain ajarannya tentang tasawuf bagian dari sejarah keIslaman orang Kerinci secara khusus, dan Jambi secara umum.
A. Pendahuluan
Karim Jamak dilahirkan di desa Tanjung Rawang, kecamatan Hamparan Rawang, Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi Sumatera Indonesia, pada tahun 1906 M, bertepatan 12 Rabiul Awal 1326 H. dari pasangan Tengku Muhammad Jama’at (ayah) dan Hj. Sa’minah binti Muhammad.1 Dia anak pertama dari delapan bersaudara, dan dididik dalam sebuah keluarga yang taat beragama dengan pengajaran ilmu dan adab-adab Islam. Pendidikan keluarga itu diberikan sebelum Karim Jamak mendapat pendidikan formal di sekolah. Karim Jamak mendapat pengajaran ilmu-ilmu agama, seperti ilmu fiqh, ilmu tauhid, dan tasawuf serta ibadah. Selain dibesarkan orang tua, ia juga diasuh oleh seorang guru agama sekaligus kakeknya yaitu Muhammad Thaib, dan mendapat pengajaran agama dari Kari Ahmad yang juga pamannya. Selain keluarga dekat, Karim Jamak juga pernah mendapat pelajaran agama dari Syekh Muhammad Khatib Kadhi, Hakim. Kabupaten Kerinci2
Sebagai anak pertama, Karim Jamak ikut memikul tanggung jawab membantu kedua orang tuanya membiayai pendidikan adik-adiknya. Adik Karim Jamak ada yang mengikuti pendidikan di sekolah umum milik pemerintah, bahkan ada juga yang sekolah di pondok pesantren. Kerja-kerja dilakukan Karim Jamak kecil adalah sebagai nelayan, memasang pukat, memasang lukah dan menjala ikan. Pekerjaan ini ia lakukan beberapa tahun. Selain kesibukan membantu orang tua mencari nafkah, Karim Jamak masih dapat meluangkan waktu mendirikan sebuah surau tempat untuk beribadah, salat, zikir dan sebagainya di pinggir sungai Tanjung Rawang5. Pendirian surau tersebut menimbulkan penentangan karena ada sebagian masyarakat yang tidak senang. Karim Jamak kemudian memindahkan tempat surau ke Muaro Air, Desa Kumun6.
Perpindahan dari Tanjung Rawang ke Kumun membuat Karim Jamak semakin memperdalam pengetahuan tentang agama7. Banyak penduduk tidak percaya kemampuan Karim Jamak sehingga ada semacam cemooh terhadapnya8. Tantangan tersebut juga memacu Karim Jamak dan membuatnya percaya bahwa menerapkan ilmu pengetahuan agama tidak mudah, pasti menghadapi perlawanan dan tantangan. Tetapi yang membuat Karim Jamak menjadi semakin terkenal karena ia sendiri berusaha menerima anggapan buruk dari orang lain dengan sikap yang bijaksana, bahkan ia juga mengatakan sebagi muslim tidak seharusnya saling memusuhi, benci membenci apalagi berlaku kasar.
Ungkapan-ungkapan seperti ini selalu ia sampaikan kepada anaka-anaknya dan juga kepada para pengikutnya9. Pandangan yang disampaikan oleh Karim Jamak di atas, berdasarkan sabda Rasulullah: ”Muslim yang baik adalah jika muslim lain merasa tentram dari perkataan dan perbuatannya”10. Selain membantu orang tua, Karim Jamak muda juga tetap bersemangat belajar beberapa ilmu agama, terutama fardu ‘ain dan tauhid. Ia banyak bertanya kepada teman teman sebayanya, lalu ia mencoba memahami dan mendalaminya. Sehingga dalam waktu yang singkat pengetahuan yang ia dapatkan tersebut mampu pula diajarkan kepada yang lain. Karim Jamak menyadari, sebagai manusia yang hidup di muka bumi, ia selalu berada antara dua kondisi yang ekstrim, seperti sangat baik dan sangat buruk, atau antara mulia dan hina, antara sangat kaya dan sangat miskin dan antara beriman dan kafir.11 Sebagaimana dijelaskan di atas,
Karim Jamak adalah anak pertama dari sepuluh orang bersaudara, yang masih menyempatkan diri belajar agama di samping membantu orang tuanya. Guru gurunya antara lain Haji Maktib Kali (Hakim zaman Belanda), Haji Muhammad Thaib (Kakek dari sebelah Ibu, yang wafat di Mekah), Kiyai Haji Karim Ahmad (Paman Kandung dari Ibu, wafat di Mekah), dan Tengku Muhammad Jumat (Ayah kandung Karim Jamak)12. Meskipun ia telah banyak belajar ilmu agama dari guru-guru tersebut diatas, namun pada usia 27 tahun, ia masih tetap bersemangat untuk memperdalam pengetahuan agamanya. Dia hijrah ke Jakarta, dan bertemu Profesor Doktor Hamka. Karim Jamak pernah menimba dan mendapat bimbingan serta pelajaran agama Islam pada tahun 1969 dari Hamka, yang saat itu berada di Jakarta13. Modal pengetahuan yang ia dapat dari guru-gurunya, Karim Jamak telah mampu menunjukkaan kemampuannya dalam mengembangkan Islam dengan cara pendekatan teologis dan pendekatan normatif14.
Karim Jamak bertansformasi dari anak nelayan yang tinggal di pinggir sungai, menjadi tokoh agama yang cukup terkenal di Kerinci dan Jambi. Nama yang terkenal itu dibuktikan dengan kehadiran ribuan orang ketika ia wafat pada 28 April 1996. Pengikutnya juga mengungkapkan ketidak percayaan bahwa Karim Jamak telah meninggal dunia15. Dari berbagai penjuru, bahkan dari dalam dan luar negeri, berkumpul di mesjidnya. Ribuan pengikutnya mengiringi pemakaman. Iring-iringan yang ramai itu belum pernah terjadi sebelumnya di Kerinci. Itu menjadi salah satu bukti bahwa Karim Jamak punya banyak pengikut.
B. Tasawuf dalam Perspektif Karim Jamak
Nilai dari ajaran agama Islam, dari perspektif Karim Jamak, adalah perubahan tingkah laku dan watak atau ahlak. Menurut pendapat Al-Jurjani ahlak adalah istilah sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung”. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa erat kaitannya dengan tingkah laku yang baik yaitu yang berasal dari wahyu Allah yang diwujudkan dalam kepribadian seorang nabi yaitu Muhammad saw begitupun sebaliknya.
Karim Jamak menyatakan bahwa ahlak merupakan sistem norma yang menekankan keseimbangan, keselarasan dan keserasian hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya sehingga menjadi kepribadian yang islami. Ia juga memaparkan dalam bentuk qalbi yang takluk pada ‘ilmu Allah karena perbuatan hati itu diketahui oleh Allah dan qauli yang takluk pada sama’ Allah, karena perbuatan lidah itu didengar oleh Allah serta fi’li yang ta’luk pada basyir Allah, karena perbuatan anggota jasad itu dilihat oleh Allah16. Seiring dengan konsep Karim Jamak diatas, ahlak merupakan kegiatan mendidik dan menanamkan nilai-nilai yang baik pada diri sendiri dan juga pada orang lain. Hadri Nawawi mengungkapkan bahwa kehidupan ini sebagian besar dilalui dengan saling meniru atau mencontoh antar sesama manusia yang satu, dengan manusia yang lain.
Akhlak berasal dari bahasa Arab yang berbentuk jama’ dan bentuk munfaridnya adalah khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah aku atau tabiat. Ahlak menurut Al-Khufiy diartikan sebagai: Kemauan (zimah) yang kuat tentang sesuatu yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi adat atau budaya, yang mengarah pada kebaikan atau keburukan. Terkadang adat itu terjadi secara kebetulan tanpa disengaja atau dikehendaki. Mengenai baik atau buruk hal itu dinamakan ahlak. Tasawuf, di sisi lain, merupakan usaha yang lebih serius memperbaiki sikap dan prilaku manusia, dan tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan ahlak.18 Maka Ahlak menurut Karim Jamak adalah cermin tingkah laku manusia. Ahlak menjadi standar kelayakan manusia untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT. Ahlak mulia adalah anugerah terindah yang diberikan Allah SWT kepada para hamba-Nya.
Manusia yang berahlak mulia ibarat mutiara yang bersinar dalam kegelapan. Ia seperti pohon yang tumbuh dan berbuah, kemudian buahnya dapat bermanfaat bagi yang memakannya. Ahlak juga diibaratkan sebagai air yang jernih dan suci, yang bisa menyucikan dan memberi banyak manfaat bagi makhluk hidup. Bahkan, dalam konteks yang lebih luas, ahlak memiliki peranan penting dalam terciptanya sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif. Ahlak menjadi ikon determinan dalam proses kemajuan bangsa, negara, dan agama. Oleh karena itu, upaya pembinaan ahlak mulia adalah suatu keniscayaan yang harus terus dilakukan, kapan saja dan di mana saja19. Berkaitan dengan penjelasan diatas, oleh Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ulumuddin, mengemukakan bahwa: “Ahlak ialah ungkapan tentang sikap jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tidak memerlukan pertimbangan/pikiran lebih dahulu”. Sedangkan Ahmad Amin menjelaskan, Ahlak ialah adatul iradah atau kehendak yang dibiasakan. Tidak kalah pentingnya, menurut Farid Ma’ruf dalam bukunya “Analisa Ahlak dalam Perkembangan Muhammadiyah”, ia mengemukakan bahwa ahlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak yang mana yang berkombinasi membawa kecendrungan memiliki pihak yang benar (dalam hal ahlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal ahlak yang jahat).
Perumusan pengertian ahlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq20. Pada prinsipnya kajian Islam tentang peran ahlak sangat penting sekali, sehingga antara satu dengan lain berkaitan langsung dengan kepribadian, karena itu ada tiga prinsip asas dan paling mendasar hubungannya yang perlu diperhatikan dalam kehidupan manusia yaitu:
Hubungan manusia dengan Allah SWT.
Hubungan manusia dengan sesama manusia.
Hubungan manusia dengan alam.
Dengan memahami kesatuan hubungan yang tumbuh dan hidup pada diri manusia, setiap manusia akan melahirkan perasaan yang mendorong mereka ingin bergaul, berkomunikasi, bekerja dan membalas jasa, punya spirit untuk maju, punya solidaritas, heroism, berkepribadian yang luhur, ingin menghargai dan dihargai orang lain. Tentu hal yang seperti ini lebih dikenal dengan etika. Yaitu ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang disistematisir tentang tindakan moral yang betul21. Pribadi seseorang adalah membangun ahlak bagi dirinya sendiri, meskipun hal ini mungkin belum banyak atau belum terjamah oleh yang lain, tentang keperluan manusia akan dirinya sendiri atau bagaimana ahlak tersebut dalam menjaga diri tanpa berfikir dengan hal-hal lain. Tingkah laku seseorang yang diukur dengan norma yang dianut menentukan nilai kepribadian orang tersebut. Ciri dari kepribadian adalah lahirnya sifat-sifat maupun perbuatan perbuatan yang baik atau terpuji, dan sifat atau perbuatan tersebut dapat dibentuk walaupun menumbuhkan waktu yang cukup lama.
Tumbuh sifat atau perbuatan seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain, lingkungan (alam sekitarnya), keluarga, masyarakat dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dalam kata lain luhur dan mulia dari makhluk lain, memang diberi beberapa keistimewaan dan kelebihan, jasmani yang bagus dan rohani yang lengkap, dengan karunia akal dan iman yang sempurna. Akan tetapi walaupun demikian kita harus sadar bahwa manusia sering berbuat salah dan lupa. Karim Jamak sangat menekankan pemahamannya tentang ahlak. karena Ahlak dalam Islam bukanlah teori semata, karena itu konsepnya tidak sama dengan konsep etika yang dibawa oleh Barat. Ahlak dalam Islam ialah sikap rohaniah yang memuliakan tingkah laku (perbuatan) manusia terhadap Allah SWT. dan terhadap diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan perintah dan larangan serta petunjuk Alquran dan Hadis. Nilai yang baik disebut ahlak mahmudah dan nilai yang keji disebut ahlak mazmumah22.
C. Peran Ahlak dalam Tasawuf
Meskipun secara sistematis Karim Jamak tidak mengajarkan teori-teori tentang tasawuf, namun dalam keseharian, ia sangat menjiwai apa yang disebutkan oleh ulama-ulama sufi terdahulu. Contohnya adalah di dalam tasawuf akhlaq menghilangkan penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya, ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah sistem atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang beri nama: takhalli , tahalli, dan tajalli. Secara praktis Karim Jamak telah mengamalkan apa yang di harapkan dari teori-teori tersebut dan bahkan jauh lebih detail ia menyebutkan bagaimana manusia dapat dekat dengan sang Khalik.Karim Jamak dalam Khutbahnya tentang “Rukun Sembahyang Yang Tiga Belas” menjelaskan bahwa; manusia mesti mengetahui musuh yang perlu dilawan, yaitu Hawa Nafsu, Dunia dan Syaitan23. Disebabkan unsur-unsur tersebut seperti angin yang telah memenuhi rongga manusia, maka timbullah hawa, kemudian air telah menjadi urat dan tulang maka timbulah nafsu. Unsur tanah telah menjadi daging, kulit, bulu atau roma pada kita maka timbulah dunia. Unsur api telah menjadi darah pada kita, maka timbulah syaitan. Untuk pemukul Hawa, Nafsu, Dunia dan Syaitan ialah Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat24. Abdul Karim Jamak juga menafsirkan konsep tasawuf Takhalli, tahalli dan Tajalli.
- Takhalli adalah usaha membersihkan diri dari semua perilaku tercela, baik maksiat batin maupun maksiat lahir.
- Tahalli adalah tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari ahlak-ahlak tercela. Diantara sikap mental yang sangat penting untuk diisikan kedalam jiwa manusia adalah al-taubah, al-khauf wa raja’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr dan lain.
- Tajalli, berarti tersingkapnya nur ghaib. Agar apa yang telah diupayakan pada langkah-langkah diatas langgeng, berkelanjutan dan terus meningkat, maka mesti rasa ketuhanan di dalam semua aktifitas akan melahirkan kecintaan dan kerinduan kepada- Nya25 .
1. Aspek Takhalli
Takhalli adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seseorang sufi,26 karena ia merupakan upaya yang mendasar dalam rangka membersihkan dari semua prilaku yang tercela, apakah dalam bentuk maksiat zahir maupun maksiat batin. Takhalli merupakan usaha dan upaya yang sangat serius untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela. Banyak orang yang hancur dan putus hubungan dengan Allah karena maksiat. Hawa nafsu membawa mereka kian lama kian jauh dari Allah, sehingga kian takutlah ia menyebut nama Allah atau lupa sama sekali. Maka dengan takhalli, sebagai salah satu langkah awal manusia membebaskan dirinya dari belenggu kesesatan, dia telah menemukan dan mendapatkan sinar daripada Nur Allah. Semakin lama jika semakin meningkat perjuangannya, maka ia bisa mencapai tahap tahalli.
2. Aspek Tahalli
Tahalli merupakan tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari ahlak tercela.28 Pembahasan tentang sifat-sifat yang tercela, dalam ilmu sufi lebih dipentingkan dan didahulukan, karena ia termasuk usaha tahliliyah, mengosongkan atau membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat yang terpuji. Imam al-Gazhali memasukkan pembicaraan ini kedalam pembicaraan mengenai muhlikat, artinya segala sesuatu yang dapat membawa manusia kepada kebinasaan dan oleh karena itu sifat-sifat tersebut dibaginya atas penyakit lidah (afatul lisan), dan penyakit hati (afatl qulub), segala sifat-sifat yang buruk itu dinamakan kehinaan (razilah), dengan demikian ia menamakan marah (razilatul ghazab).29 Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT:
Oang-orang Yang menjauhi dosa-dosa besar serta perbuatan-perbuatan Yang keji, kecuali salah silap Yang kecil-kecil (yang mereka terlanjur melakukannya, maka itu dimaafkan). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas keampunanNya. ia lebih mengetahui akan keadaan kamu semenjak ia mencipta kamu (berasal) dari tanah, dan semasa kamu berupa anak Yang sedang melalui berbagai peringkat kejadian Dalam perut ibu kamu; maka janganlah kamu memuji-muji diri kamu (bahwa kamu suci bersih dari dosa). Dia lah sahaja Yang lebih mengetahui akan orang-orang Yang bertaqwa.30 lebih luas bagi manusia untuk memahami berbagai aspek kemanusiaanya.40
Dalam dunia tasawuf masing-masing substansi tersebut memang benar-benar terpelihara. Apalagi hati, ia merupakan sumber dari semua tindak-tandak dan tingkah laku manusia. Jika hati dapat dikawal, dididik sedemikian baik maka lahirlah wujud manusia yang baik dan sempurna.Akan tetapi bila hati dibebaskan untuk melakukan hal-hal yang buruk, ia akan menghancurkan dirinya sendiri, bahkan lebih dari itu lagi kerusakan yang ia rasakan. “Dalam hati mereka (golongan Yang munafik itu) terdapat penyakit (syak dan hasad dengki), maka Allah tambahkan lagi penyakit itu kepada mereka; dan mereka pula akan beroleh azab seksa Yang tidak terperi sakitnya, Dengan sebab mereka berdusta (dan mendustakan kebenaran)”41. Sebagai orang yang meyakini Allah SWT, tuhan yang telah memberikan segala keperluan manusia selaku hambanya, tentu tidak harus menyalahi aturan-aturan yang telah diberikan atau disampaikan kepadanya. Manusia wajib tunduk dan patuh akan segala perintah serta meninggalkan segala yang dilarangnya. Menjaga perilaku hati, supaya tetap istiqamah dalam mengamalkan ajaran agama tersebut, tentu bagi hamba yang sufi yang bisa dan dapat mempertahankannya.
Karena hati merupakan sumber potensi sufi dalam menjalankan perintah Allah SWT. Pengikut tasawuf sangat berhati-hati dalam hidup, mereka berupaya sekuatnya agar terhindar dari keragu-raguan, apalagi kufur kepada Allah SWT. “Dan juga supaya orang-orang Yang diberi Kitab dan orang-orang Yang beriman itu tidak ragu ragu (tentang kebenaran keterangan itu); dan (sebaliknya) supaya orang-orang (munafik) Yang ada penyakit (ragu-ragu) Dalam hatinya dan orang-orang kafir berkata: “Apakah Yang di maksudkan oleh Allah Dengan menyebutkan bilangan ganjil ini?” Demikianlah Allah menyesatkan sesiapa Yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya), dan memberi hidayah petunjuk kepada sesiapa Yang dikehendakiNya (menurut undang-undang peraturanNya); dan tiada Yang mengetahui tentera Tuhanmu melainkan Dia lah sahaja. dan (ingatlah, Segala Yang diterangkan berkenaan dengan) neraka itu tidak lain hanyalah menjadi peringatan bagi manusia”42. Hati adalah penentu kualitas diri seseorang. Orang yang tekun mempelajari agama Islam tak mungkin tidak menyadari pentingnya hati. Begitu seriusnya para ulama mempelajari hati, sehingga muncul istilah ‘menjaga hati’, bahkan ‘penyakit-penyakit hati’ pun dirinci secara mendalam. Sungguh mengherankan jika kini ada yang bicara tentang dakwah tapi mengabaikan hati. Manusia sebagai insan yang senantiasa mengingatkan semua orang bahwa manusia takkan bisa menyentuh hati kalau bukan dengan hati juga. Namun demikian orang yang selalu menggunakan kelembutan hatinya pun bisa saja ditinggalkan oleh banyak orang hanya karena fitnah43. Begitu sukarnya seseorang ingin membentuk hati yang sempurna, karena yang sering terlihat dan terdengar oleh banyak orang tentang sesuatu yang baik dalam bentuk ukuran pribadinya, yang disaat itu juga belum tentu baik menurut orang lain. Inilah yang sering muncul dikalangan umat manusia. Seperti sebuah cerita fiksi jika dikatakan bahwa seseorang yang menganggap dirinya sebagai da’i pernah bertutur tentang objek dakwahnya: “jika mereka tidak senang ya terserah! Kewajipan kita kan hanya menyeru dan menyampaikan.3. Aspek Tajalli Tajalli yang berarti tersingkapnya nur ghaib. Agar apa yang telah diupayakan pada langkah-langkah diatas langgeng, berkelanjutan dan terus meningkat, maka mesti rasa ketuhanan terus dipupuk dalam diri.31 Atau ada juga yang mengatakan bahwa tajalli adalah tersingkapnya tabir sehingga diperoleh pancaran Nur Ilahi32. “Allah Pelindung (yang mengawal dan menolong) orang- orang Yang beriman. ia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kufur) kepada cahaya (iman). dan orang orang Yang kafir, penolong- penolong mereka ialah Taghut Yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kufur). mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya”33
D. Beberapa Substansi Ahlak dalam Tasawuf Karim Jamak.
Karim Jamak mengemukakan bahwa Al-Quran sebagai sumber segala aspek yang mutlak merupakan wahyu Allah SWT, sedangkan manusia adalah makhluk ciptaan-Nya, dengan itu sudah pasti Dia menurunkan panduan yang sesuai dengan ciptaan-Nya itu. Firman-Nya: Setelah jelas kesesatan syirik itu) maka hadapkanlah dirimu (engkau dan pengikut pengikutmu, Wahai Muhammad) ke arah ugama Yang jauh dari kesesatan; (turutlah terus) ugama Allah, Iaitu ugama Yang Allah menciptakan manusia (dengan keadaan bersedia dari semula jadinya) untuk menerimanya; tidaklah patut ada sebarang perubahan pada ciptaan Allah itu; itulah ugama Yang betul lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”34. Konteks ahlak, bagi Karim Jamak yang telah dituntun oleh al-Quran dengan menggunakan pelbagai pendekatan untuk menjelaskan hakikat ahlak yang baik dan ahlak yang buruk, kepentingan ahlak baik dan celaka serta ancaman kepada mereka yang berahlak buruk. Jarang sekali ada yang ingin mengungkap esensi ahlak terhadap diri manusia itu sendiri, padahal ahlak itu bila digali lebih mendalam lagi ternyata sangat erat kaitannya dengan individu masing masing. Sehingga secara substansi ahlak tersebut dapat dibagai kedalam;
ahlak hati,
ahlak mata,
ahlak telinga dan juga
ahlak tangan serta ahlak kaki35.
Ahlak Hati, Ahlak hati merupakan hal yang abstrak atau juga boleh dikatakan mistik. Karena ia wujud dalam diri seseorang dan sangat berperan. Salah seorang tokoh sufi yang membangun ahlak sebagai landasan kepribadian seseorang adalah Al-Ghazali. Karena Al-Ghazali membangun tiori etika yang bersifat mistik.38 Karena itu, menurut Karim Jamak pendekatan agama yang lebih diperlukan adalah pendekatan spiritual, yang mengajarkan kepada manusia untuk memahami kemuliaan jati dirinya dalam alam semesta dan dalam hubungannya dengan sang pencipta, yaitu dengan menghadirkan hati akan zat Allah39. Ajaran spiritual Islam menekankan bahwa setiap perbuatan, baik atau jahat, akan berpengaruh tidak hanya kepada jiwanya, tetapi juga kepada keteraturan atau harmoni alam semesta. Lebih penting dari itu adalah bahwa ajaran spiritual Islam membuka ruang yang Memangnya kita ini penghibur?” Bukan pula sebuah dongeng jika ada seorang ‘ustadzah’ di sebuah pengajian atau majlis ta’lim yang mengatakan “Saya ya begini ini! Mereka mau bilang apa, terserah. Jadi persoalan hati tidak bisa diikat dan di doktrin secara paksa, melain dengan sentuhan hati pula.
Ahlak Mata
Nasehat dan pelajaran yang selalu disampaikan oleh Karim Jamak pada murid muridnya adalah bahwasanya Allah SWT telah menyempurnakan makna hidup bagi manusia, ia berikan mata untuk melihat, memandang dan mengamati segala yang dapat dilihatnya. Mata adalah salah satu panca indra manusia yang sangat berharga. Betapa hampanya makna hidup bila mata tidak dapat melihat dan mencermati apa-apa yang ingin dilihatnya atau tidak berpungsi sama sekali44. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa mata yang baik dipadu dengan hati yang buruk bisa menjadi mangsa pornografi. Telinga yang sehat dengan hati yang jahat adalah modal awal bagi tukang gosip. Lidah yang lancar berbicara namun hatinya keji, waduh entah kerusakan macam apa yang bisa ditimbulkannya45. Senada dengan konsep-konsep Karim Jamak diatas, Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa mata yang diciptakan oleh Allah SWT untuk melihat segala sesuatu, menggunakannya dalam menunaikan segala hajat dan dapat melihat akan keajaiban dan keindahan ciptaan langit dan bumi, sehingga dapat mengambil I’tibar daripadanya.46 Mata sebagai pancaindra yang berfungsi untuk melihat dan memandang, maka memandang dapat dibagi beberapa macam47:
- Pertama; memandang yang diharamkan, seperti memandang lawan jenis yang bukan mahram, tanpa adanya keperluan yang membolehkannya memandang kepada orang itu.
- Kedua; pandangan yang di sunnahkan adalah memandang kepada wanita yang ia ingin nikahi dan menurut dugaan kuatnya wanita itu akan menerimanya.
- Ketiga; memandang yang dibolehkan adalah seperti memandang tanpa sengaja kepada wanita yang bukan mahram.
Ahlak Lidah
Di antara nikmat Allah yang terbesar, setelah nikmat iman dan Islam, ialah nikmat berbicara dengan lidah, nikmat kemampuan menjelaskan isi hati dan kehendak. Meski lidah merupakan nikmat yang besar, namun kita perlu mengetahui, bahwasanya lidah yang berfungsi untuk berbicara ini seperti senjata bermata dua. Yaitu dapat digunakan untuk taat kepada Allah, dan juga dapat digunakan untuk memperturutkan setan. Allah Ta`ala berfirman:
“Allah yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Qur`aan. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”48
Penciptaan manusia dan pengajaran berbicara kepadanya benar-benar merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang besar. Oleh karena itulah, Allah juga menyebutkan nikmat-Nya tentang penciptaan alat-alat berbicara bagi manusia.
Allah berfirman:
“Mengapa manusia terpedaya dan bermegah-megah?) tidakkah Kami telah menjadikan baginya: dua mata (untuk ia memerhatikan kekuasaan dan kekayaan Kami?) . dan lidah serta dua bibir
(untuk ia menyempurnakan sebahagian besar dari hajat-hajatnya)”49 (QS. Al-Balad; 90 : 8-9). Ketika manusia berkeinginan ingin menjadi orang yang baik dan bersih, lalu bagaimana menjaga supaya hati kita bersih? Jawabnya adalah jaga lidahmu. Karena, lidah dan hati ibarat dua sisi mata uang. Bila ingin baik salah satunya, maka perbaikilah satu yang lainnya. Ada seseorang yang dulunya adalah orang yang sering menyakiti orang lain dengan kata kata. Justru ia resah dan gelisah bila tidak berkomentar atau menjatuhkan orang yang meledek atau menggodanya. Kemudian ia benar-benar mulai berlatih mengendalikan lidah ketika mendapat nasehat dari temannya yang baik. Salah satu bentuk nasehat yang diberikannya adalah, ia menyuruh “Sediakan di rumahmu papan, paku dan palu. Ketika kata-katamu melukai orang lain pakulah papan itu. Ketika melukai lagi palu lagi. Saat kamu sadar dan meminta maaf, cabutlah paku itu. Apa yang terjadi? Bekasnya masih ada. Begitulah saat kau menyakiti orang lain dengan kata katamu. Walau kau meminta maaf kepada orang itu, bekas lukanya masih ada.” Dengan demikian, lidah manusia itu bisa menjadi faktor yang bisa mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga bisa menyebabkan kecelakaan yang besar bagi pemiliknya.
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam”50. Kebanyakan manusia, ketika berbicara ataupun diam, ia menyimpang dengan dua jenis bencana lidah sebagaimana di atas. Sedangkan orang yang beruntung, yaitu orang yang menahan lidahnya dari kebatilan dan menggunakannya untuk perkara bermanfaat.
Alangkah banyak manusia yang menjaga diri dari perbuatan keji dan maksiat, namun lidahnya memotong dan menyembelih kehormatan orang-orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Dia tidak peduli dengan apa yang sedang ia ucapkan. Syaikh Husain al-`Awaisyah berkata: “Sesungguhnya sekarang ini, sesuatu yang manusia merasa amat tenteram terhadapnya ialah lidah mereka, padahal lidah yang paling dikhawatirkan Nabi atas umatnya. Dan yang nampak, lidah itu seolah-olah pabrik keburukan, tidak pernah lelah dan bosan”51. Kemudian seorang Salaf berkata: “Seorang mukmin itu ialah menyedikitkan perkataan dan memperbanyak amal.
Adapun orang munafik, ia memperbanyak perkataan dan menyedikitkan amal”. Menjaga lidah disebut juga hifzhul-lisân. Lidah itu sendiri merupakan anggota badan yang benar benar perlu dijaga dan dikendalikan. Lidah memiliki fungsi sebagai penerjemah dan pengungkap isi hati. Oleh karena itu, setelah Nabi memerintahkan seseorang beristiqomah, kemudian mewasiatkan pula untuk menjaga lisan. Keterjagaan dan lurusnya lidah sangat berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah menjaga lidahnya. Apa jaminan bagi seseorang yang menjaga lidahnya dengan baik?
Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya52. Dalam hadits yang lain nabi Muhammad saw bersabda; “Sesungguhnya lidah orang mukmin di belakang hatinya, apabila ia berkehendak mengatakan sesuatu, niscaya dipahaminya dengan hatinya, kemudian dilakukannya dengan lidahnya. (HR. At-Thabrani dan Abu Yu’la)53. Ibnu Thaus berkata; “lidahku itu binatang buas, jikalau aku lepaskan, niscaya ia akan makan aku. Al-Hasan Al Basri, menjelaskan pula bahwa “tiada memahami agamanya yang tiada menjaga lidahnya.54
Ahlak Telinga
Pendengaran adalah organ manusia yang pertama kali bekerja ketika di dunia, juga merupakan organ yang pertama kali siap bekerja pada saat akhirat terjadi. Maka pendengaran tidak pernah tidur sama sekali. Sesunguhnya pendengaran adalah organ tubuh manusia yang pertama kali bekerja manusia lahir di dunia. Maka, seorang bayi ketika saat pertama kali lahir, ia bisa mendengar, berbeda dengan kedua mata. Maka, seolah Allah ta’alaa ingin mengatakan kepada kita, “Sesungguhnya pendengaran adalah organ yang pertama kali mempengaruhi organ lain bekerja, maka apabila engkau datang disamping bayi tersebut beberapa saat lalu terdengar bunyi kemudian, maka ia kaget dan menangis. Akan tetapi jika engkau dekatkan kedua tanganmu ke depan mata bayi yang baru lahir, maka bayi itu tidak bergerak sama sekali (tidak merespon), tidak merasa ada bahaya yang mengancam. Ini yang pertama.
Kemudian, apabila manusia tidur, maka semua organ tubuhnya istirahat, kecuali pendengarannya. Jika engkau ingin bangun dari tidurmu, dan engkau letakkan tanganmu didekat matamu, maka mata tersebut tidak akan merasakannya. Akan tetapi jika ada suara berisik di dekat telingamu, maka anda akan terbangun seketika. Ini yang kedua.
Adapun yang ketiga, telinga adalah penghubung antara manusia dengan dunia luar. Allah ta’alaa ketika ingin menjadikan ashhabul kahfi tidur selama 309 tahun. Dari sini, ketika telinga tutup sehingga tidak bisa mendengar, maka orang akan tertidur selama beratus-ratus tahun tanpa ada gangguan. Hal ini karena gerakan-gerakan manusia pada siang hari menghalangi manusia dari tidur pulas, dan tenangnya manusia (tanpa ada aktivitas) pada malam hari menyebabkan bisa tidur pulas, dan telinga tetap tidak tidur dan tidak lalai sedikitpun.
Dan di sini ada satu hal yang perlu kami garis bawahi, yaitu sesungguhnya Allah berfirman dalam surat Fushshilat ayat 22: “Dan kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian yang dilakukan oleh pendengaranmu, mata-mata kalian, dan kulit-kulit kalian terhadap kalian sendiri, bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan”56.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin (Tk. H Ismail Yakub, jId 4, 1988: 143) mendefinisikan ahlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang dan darinya terbentuk perbuatan dengan mudah tanpa berkehendakkan pertimbangan fikiran teriebih dahulu. Apabila keadaan jiwa tersebut terbit perbuatan yang baik dan terpuji menurut akal dan syariah, ia dinamakan ahlak yang baik. Sekiranya yang keluar itu perbuatan yang buruk, ia dinamakan ahlak yang buruk . Menciptakan Sifat-sifat Terpuji. Hadis ini menjelaskan bahwa seorang muslim yang mu’min apapun atribut yang ada padanya, menciptakan dan melahirkan ahlak yang terpuji dengan sifat-sifat yang mulia merupakan tujuan utama untuk melakukan pencerahan untuk dirinya.
Buya Hamka mengemukakan; kita ini manusia, terjadi daripada jasmani, rohani dan nafsunya; tubuh, nyawa dan nafsu. Kita bukan Malaikat yang semata mata Rohaniat. Kitapun bukan Iblis yang semata-mata api yang penuh kenafsuan. Tetapi kitapun bukan semata-mata binatang. Sebab kita dapat menimbang mana yang baik, mana yang buruk, mana yang manfaat dan mana yang berbahaya58. Kalau terus menerus berbuat maksiat tandanya luka sudah, dia tidak takut lagi kepada azab siksa Allah. Dia sudah diperintah oleh hawa nafsunya dan dilepaskannya dirinya daripada perintah Allah59. Al-Karimah dalam Tasawuf Menurut Karim Jamak, ahlakul karimah merupakan manivestasi keimanan dan keislaman paripurna seorang Muslim60.
Ahlakul karimah dalam pengertian luasnya ialah perilaku, perangai, ataupun adab yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ahlakul karimah terbukti efektif dalam menuntaskan suatu permasalahan serumit apa pun.
Ahlak akan dimiliki oleh siapa saja yang secara sungguh sungguh memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam. Dan, siapa saja yang berhasil menjadikan ahlakul karimah sebagai karakter dalam dirinya tentu ia akan menjadi orang yang paling beruntung, baik di dunia maupun di akhirat61. Sungguh dalam keseharian, di lingkungan masyarakat, tipologi orang-orang jahil, orang-orang yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering di temui. Jika sikap yang di tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah SWT, maka bisa jadi individu yang hidup bersama mereka termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun sebagai muslim tentu senantiasa berharap, mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses pembelajaran dan pemahman serta pengamalan nilai-nilai ajaran Islam tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan sehari-hari, sehingga tampilan ahlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakannya terhadap sesama, untuk kebaikan bersama umat.
Sebagai panduan yang telah diajarkan Rasulullah saw dalam sabda ia: “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (artinya = semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)”. (Riwayat Muslim)62. Selanjut Rasulullah juga memberikan isyarat bahwa; menciptakan ahlakul karimah mulai dari hal yang sederhana, yaitu dengan menumbuhkan dan menciptakan kebaikan; “Nawas Ibnu Sam›an Radliyallaahu ‹anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‹alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan kejahatan. Ia bersabda: «Kebaikan ialah ahlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya.” (Riwayat Muslim)63. Akal dan nurani seorang setiap manusia dapat dilihat melalui kelakuan yang biasa ia tampakkan dalam keseharian. Dengan kata lain, ahlak merupakan satuan ukuran yang digunakan untuk mengukur ketinggian akal dan nurani seseorang. Aisyah r.a, pernah menuturkan: “Rasulullah bukanlah seorang yang keji dan tidak suka berkata keji, ia bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Bahkan sebaliknya, ia suka memaafkan dan merelakan”. (HR. Ahmad). Al-Husein cucu Rasulullah saw menuturkan keluhuran budi pekerti ia. Ia berkata: “Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah saw terhadap orang orang yang bergaul dengan ia, ayahku menuturkan: “Ia saw senantiasa tersenyum, luhur budi pekerti lagi rendah hati, ia bukanlah seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang cela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya”. Aqidah yang kuat merupakan akar bagi tegak dan kokohnya bangunan Islam. Kemudian syariah dan ibadah merupakan cabang-cabang yang akan membuatnya semakin rimbun, tampak subur, teduh dan kian menjulang. Sementara ahlak adalah buah yang akan dihasilkan oleh pohon yang berakarkan aqidah serta bercabang syariah dan berdaun ibadah. Pohon yang baik, tentunya akan menghasilkan buah yang baik. Maka aqidah, syariah sertai ibadahyang mantab tentunya akan menghasilkan ahlak yang mantab pula, yaitu ahlakul karimah, firman Allah SWT menyebutkan : “Dan Bahwa Sesungguhnya Engkau mempunyaia Yang amat mulia”64.
Dalam hal ini, sosok yang sangat pantas untuk di jadikan sebagai teladan adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia telah mengaplikasikan sifat-sifat yang mulia semenjak masa kanak-kanak. Sehingga tidaklah mengherankan ketika di kemudian hari ia menjadi orang kepercayaan di kalangan kaumnya sebelum diangkat menjadi nabi dan menerima banyak pujian dari mereka. Bila setiap orang mau menggali kembali warisan ahlak yang mulia sebagaimana yang telah diwariskan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, niscaya akan mendapati betapa indahnya Islam itu. Sungguh menyedihkan, tatkala menyaksikan banyak dari saudara-saudara kita kaum muslimin kurang memberikan perhatian terhadap masalah ahlak.
Terlebih ketika menyaksikan generasi muda Islam yang mayoritas mereka tumbuh dan berkembang tidak di atas bimbingan ahlak yang mulia. Seyogyanya, pendidikan ahlak kepada generasi muda dimulai semenjak mereka berada dalam masa kanak-kanak, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam sebuah lembaga pendidikan. Walaupun, pada akhirnya itu semua kembali kepada hidayah dari Allah ‘azza wa jalla. Namun setidaknya, telah ada upaya dengan penuh kesungguhan dari diri kita yang diiringi dengan doa.
Cara menumbuhkan serta membiasakan ahlak yang baik, Adapun cara menumbuhkan ahlak yang bai, melakukan perbuatan yang meliputi sifat-sifat terpuji antaralain: Sifat rendah hati (tawadhu), Sifat sabar, Sifat jujur, Sifat pemaaf, Sifat penyantun dan Sifat cermat65. Disamping sifat-sifat terpuji, akan dibahas pula bagaimana cara membiasakan ahlak yang baik meliputi perbuatan-perbuatan terpuji antara lain sebagaiberikut: Taat terhadap perintah Allah dan Rasul, Patuh kepada orang tua, Halus budi pekerti. Kemudian selain dari peningkatan dalam melahirkan ahlak dan sifat terpuji, perlu juga ada usaha dan cara mencegah ahlak tercela. Adapun perjuangan berat yang harus dibasmi dan dihilangkan oleh kaum sufi dalam menjaga kedekatannya kepada Allah SWT, melalui proses pencegahan atau yang lebih sederhana cara mecegah ahlak tercela meliputi : Menjauhi sifat- sifat tercela, seperti:Takabur, dengki, Dendam, Tidak disiplin, Serakah, Menjauhi perbuatan-perbuatan tercelas eperti: Durhaka, kepada, orangtua, Sadis, Lalai, Curang, dan Ceroboh.
E. Penutup
Karim Jamak, memandang perlu dan pentingnya manusia mengetahui peran tauhid dan akidahnya sebagai muslim. Karena ia akan membuat manusia terhindar dari pikiran-pikiran yang karut dan kusut Karim Jamak memberikan pandangannya bahwa dalam Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia diantara makhluk ciptaan-Nya yang lain yang dipercaya untuk menjadi khalifah dimuka bumi.
Dengan segala usaha,kerja keras,dan do’a manusia dapat menemukan jalan kehidupannya sendiri kecuali pada beberapa ketetapan yang tak bisa diubah(rezeki,mati, jodoh). Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.
Catatan:
1.Ayah dari Muhammad Jama’at adalah Abdullah, dan ibunya bernama Anduang. Menurut catatan sejarah, keturunan Karim Jamak hanyalah sampai kepada Muhammad bin Jum’at sahaja.
karena mereka berdua sebelumnya datang dari Palembang-Sumatera Selatan, yang kemudian mereka berdua membangun rumah tangganya di Rawang Kerinci, Menurut salah seorang dari keluarga dekat, Karim Jamak,(Haji Firdaus Yahya), bahwa neneknya yang bernama Anduang memiliki saudara di salah satu desa di Tanjung Pauh, tetapi mereka tidak mempunyai keturunan.
2 Abdul Karim Jamak, hal 13
Rasyid Jamak, adalah adik kandung Kh. Abdul Karim Jamak yang ke 6, yang pernah mendapat pendidikan di Thawalib, kemudian ia juga memilih ikut belajar agama kepada kakaknya Kh. Abdul
Karim Jamak dan sekarang ia merupakan penerus pengajian yang dibangunkan oleh kakaknya tersebut..
4.Pribadi Karim Jamak, menurut adik perempuannya Rasina dan Rasyani, memang memberikan makna yang sangat mendalam bagi adik-adik ia,seperti ; Abdurrahman, Abdur Rasyid dan Ishak,
adik lelakinya ini memang ia perjuangkan supaya pendidikan lebih baik daripada ia. Karim Jamak sangup mengorban masanya untuk bekerja membantu ayah dan ibunya dalam mengembangkan
usaha agar adik-adik dapat belajar seperti orang lain. 12-10-2011
5 Rasyid Jamak, Op.cit
6 Ali Zuriyat (alm) putra ke tigadari Karim Jamak, Sungai Penuh, 20 – 12-2005, ia adalah yang senantiasa mengikuti kegiatan dakwah Karim Jamak dimana sahaja, ketika masih hidup, dan banyak
mengenali susah dan derita yang ditanggung oleh Ayah ia. Termasuk isu-sisu tentang ayahnya menyebarkan ajaran sesat. Namun tutur ia (Ali Zuriyat), ayahnya tetap bersabar dan terus berusaha mendakwahkan Islam sebagaimana layaknya seorang ulamak yang bertanggung jawab terhadap
ilmu yang dimilikinya.
7 Sa’diyah, salah seorang anak perempuan Karim Jamak menuturkan hal yang sama tentang
penderitaan dan pengalamannya bersama ayah kandungnya tersebut. Ia juga merasakan bagaimana pikirannya turut sedih ketika ayahnya pindah tempat untuk mengajarkan ilmu agamanya kepada
mereka yang mahu belajar padanya.
8 Kiyai Haji Drs. Abdul Kadir Yasin, mengemukakan bahwa Karim Jamak adalah orang yang tidak pernah menduduki sekolah yang permanent, sehingga disiplin ilmu yang diajarkan tersebut belum tentu dapat diterima oleh masyarakat luas. Kerinci, 30 Desember 2008, temubual
9 Ali Zuriyat (alm), Op.cit
10 Lihat Assuyuti, 1983, al-Dur al-Mantsur bi al-Ma’tsur, Beirut; Dar al-Fikri.
11 Ali Zuriyat, (alm), op.cit
12 Mengenang Ayahanda K.H. Abdul Karim Jamak, Pembina Jam’iyatul Islamiyah, 1996, h, 5
13 Abdul Karim Jamak, 1995, Ikhtisar Tentang KH. Abdul Karim Jamak, Sungai Penuh, hal 1.
Pengakuan ia tentang gurunya ini, ada beberapa Ulama Kabupaten Kerinci tidak mahu mengakuinya,
bahkan mereka mengangap itu hanya sebagai pengakuan Karim Jamak sahaja. Lihat pula dalam
Mengenang Ayahanda Kh. Abd. Karim Jamak, Pembina Jam’iyatul Islamiyah, halaman, 6 ia menjelaskan bahwa pada tahun 1969 ia bersama Kh. Amir Usman yang berasal dari Kumun Sungai Penuh mendapat bimbingan dan petunjuk dari Profesor Doktor Hamka di kediamannya di Jakarta.
14 Lihat Abuddin Nata; pendekatan normative iaitu; suatu pendekatan yang memandang agama
dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran
pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak
dari tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan Nampak bersikap ideal.h, 35 14 Ali Zuriyat, 2002, Sungai Penuh
16 Karim Jamak, 1992, Khutbah Rukun Sembahyang Yang Tiga Belas, Jakarta; Dewan Pimpinan
Pusat Jam’iyatul Islamiyah, h, 4 17 Hadari Nawawi, op.cit, hal 213
18 M. Jamil, 2007, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, Jakarta,
GaungPersada Press, cet.2, hal. 36 19 Azhar Arsyad, (Prof. Dr), sekarang Ketua Umum Jam’iyatul Islamiyah Pusat, periode 2013-
2018, mantan/bekas Rektor Universitas Islam Alaudin Makasar, wawancara penulis di Jambi tanggal
28-09-2013. 20 Hamzah Ya’cub, 1983, Etika Islam, Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar), Bandung,
CV Diponegoro, cet.2, hal 11 21 Hamzah Ya’cub, ibid, hal 12
22 Syahrin Harahap (Prof.Dr), Wakil Ketua Umum Jam’iyatul Islamiyah Pusat, Ceramahnya AHMAD ZUHDI & AHMAD ZUHDI ISMAIL
130 Kontekstualita, Vol. 29, No. 2, 2014
dalam Seminar Internasional tanggal 28 September 2013, di Jambi bersama Fakulti Ushuluddin IAIN
Sultan Taha. 23 Karim Jamak, Op.cit, h, 1
24 Karim Jamak, Loc.cit
25 Aboebakar Atjeh, Op.cit, hal.30
26 M. Jamil, ibid, hal.37
27 Surah Ibrahim (14); 24-25
28 M. Jamil, Ibid, hal.39
29 Abu Bakar Aceh, Op.cit, hal 183
30 Surah An-Najmi (53) ; 32
31 M. Jamil, Ibid, hal 39
32 A. Mustofa, 2008, Ahlak Tasawuf, Bandung, Pustaka setia, cet. 5, hal 197
33 Surah Al-Baqarah (2) ; 257 34 Surah Ar-Ruum (30) ; 30
35 Ali Zuriyat,(alm), anak kandung Karim Jamak, yang selalu penulis diskusi bersama ia semasa
hidup (tahun 2001-2003), tentang pengajian-pengajian yang disampaikan oleh ayahandanya, tentang
bagaimana kita harus menjaga segala anggota tubuh yang berikan kepada kita, karena semuanya
akan diminta pertanggung jawapannya disisi Allah SWT 36 Surah Al-A’raf ( 7 ) ;179
37 Surah Yasiin ( 36 ) ; 65
38 M. Amin Abdullah, 2004, Studi Agama Normativitas atau Historitas, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, cet. 4, hal.286 39 Karim Jamak, Op.cit, h, 5
40 Samsul Hadi, 2007, Islam Spritual Cetak Biru Keserasian Eksistensi, Malang, UIN-Malang,
hal.5 41 Surah Al-Baqarah (2) ; 10 42 Surah Al-Mudtsir ( 74 ) : 31
43 Azhar Arsyad, (Prof.Dr), Kata Alu-aluan atas nama Ketua Umum Jam’iyatul Islamiyah, pada
acara Pembukaan Seminar Internasional 28 September 2013 di Jambi. 44 Basrun, ia adalah pendakwah Jam’iyatul Islamiyah Kabupaten Kerinci, 2012. Beberapa kali
penulis berdiskusi dengan ia berkaitan dengan pengajian-pengajian yang dijalankan oleh Jam’iyatul
Islamiyah. 45 Basrun, Sungai Penuh-Kerinci, 2012
46 Al Imam Hujjatul Islam Al-Ghazali, 2007, Bidayatul Hidayah, terj. Malaysia, Khazanah
Banjariah, cet. 5, hal 115 47 Abdul Aziz, 2005, Menahan Pandangan Menjaga hati, Jakarta, Gema Insani, cet. 3, hal 30 48 Surah Ar-Rahman (55) ; 1-5
49 Surah Al-Balad (90) ; 8-9
50 Lihat Hadis Sahih Buhari, no. 6478
51 Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, hlm. 15. 52 HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri.
53 Imun El Blitary, Pandangan Al-Ghazali tentang Bahaya Lidah, Surabaya, al-Ikhlas, h.17.� 55 Surah Al-Kahfi (18) ; 11 56 Surah Fhushilat ( 41 ) ; 22
57 HR. Imam Ahmad, Lihat dalam Oemar Bakri, Op.cit, hal 22 58 Hamka, 1983, Iman dan Amal Saleh, Kuala Lumpur, Pustaka Melayu Baru, cet. 1, hal 36
60 Basrun, Sungai Penuh..
61 Ahmad Zuhdi, Dede Rohaniawati, 2011, Membangun Karakter Pendidikan dengan Ahlak
Mulia, Sungai Penuh, STAI Kerinci-Press, cet. 1, hal 62 Dani Hidayat, 2008, Bulugul Marram versi 20, hadits ke 1467, Pustaka al-Hidayah
63 Ibid, hadits ke 1468
64 Surah Al-Qalam (68) ; 4
65 Ahmad Zuhdi, 2010, Urgensi Komitmen Tauhid dalam Berdakwah, Sungai Penuh, STAIN
Kerinci-Press, cet. 1, halAJARAN TASAWUF KARIM JAMAK DALAM MEMBENTUK KARAKTER
Kontekstualita, Vol. 29, No. 2, 2014 131
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zuhdi bin Ismail, Imam Ja’far Al-Sadiq, Pemikirannya Tentang Konsep Ketuhanan,
(Kuala Lumpur, Universiti Malaya, 2006).
Ahmad Zuhdi, Urgensi dan Komitmen Tauhid Dalam Berdakwah, Kerinci, STAIN-Press, 2006).
A. Mustofa, Ahlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia).
Assuyuti, al-Dur al-Mantsur bi al-Ma’tsur, (Beirut; Dar al-Fikri, 1983).
Hamka, Tasawuf Moden, Kuala Lumpur, (Kairo: Darul Nukman, 1998).
Hamzah Ya’cub, Etika Islam, Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar), (Bandung:
Diponegoro, 1983)
Ismail bin Omar, Manhaj Aqidah Ahli As-Sunnah Wal-Jamaah, (Selangor: Access Infotech, 1999).
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, Sejarah, Pemikiran dan Kontekstualitas, (Jakarta: GaungPersada
Press, 2001).
Sayyid Sabiq, (Terj.) Akidah Islam, Pola Hidup Manusia Beriman, (Singapura: Pustaka Nasional,
1999).
Umar Sulaiman, 2004, Al-Jannatu Wa Al-Nar,
Yusuf Qardawi, 2000, al-Niyyat wa Al-Ikhlas, terj. Ihklas Dalam Ibadah dan Perjuangan,
Persatuan Ulama Malaysia, Selangor DE.
Yusuf Qardawi, 2005, Iman dan Kehidupan, terj. Selangor, Dewan Pustaka Fajar, cet. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar